KARAWANG, TAKtik – Berburu waktu dalam membelanjakan APBD di akhir tahun anggaran berjalan, tidak lagi pantas disebut pembelajaran bagi para pejabat yang menjalankan roda pemerintahan di Pemkab Karawang. Karena kondisi seperti ini seringkali terulang.
Hal itu dikatakan praktisi hukum Asep Agustian saat ditemui TAKtik di rumah tinggalnya, Senin petang (8/1/2018). “Sudah tidak logis bila jebloknya penyerapan anggaran selalu berdalih ini jadi pembelajaran. Kondisi begini kan seringkali terulang? Para kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) kan sudah pintar-pintar? Atau memang pintarnya tanda kutif? Pintar dipaksa, pintar gembosan, pintar karbitan, atau memang pintar ketakutan?” herannya.
Asep juga mengamini, di beberapa SKPD ada yang tidak punya kemampuan dalam mengelola anggaran. Pada akhirnya, di tengah waktu tersisa tinggal menghitung hari menjadi kelabakan bagaimana menghabiskan anggaran yang dimilikinya hingga bisa terserap minimum 90 persen. Kendati, Asep menyebut, ada hukum yang terindikasi ditabrak tanpa kejelasan.
“Apakah ini juga ekses dari adanya tiga ‘matahari’ di Pemkab Karawang? Yang saya baca, sepertinya semua ingin jadi kepala. Seharusnya ‘matahari’ itu cukup satu, yakni Bupati Cellica Nurrachadiana. Saya sepakat dengan akan adanya sanksi tegas terhadap kepala SKPD yang serapannya di bawah 90 persen. Tapi bupati pun harus memberikan teguran keras terhadap ‘matahari’ lain. Karena urusan kebijakan dan program tidak mesti ada dari wakil bupati maupun sekda. Semua muara cukup di bupati,” sentil Asep.
Pendapat lain dikemukakan praktisi politik dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), Jaa Maliki. Menurutnya, masih ada pejabat di Pemkab Karawang seperti tidak kreatif. Uang tersedia tapi tidak bisa membelanjakannya, dia anggap, ironis. Sebab pada akhirnya masyarakat Karawang sendiri yang jadi korban. Padahal, sebutnya, program terlaksana dengan lancar akan meningkatkan daya beli masyarakat.
“Serapan anggaran kenapa jadi perhatian serius? Karena akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.
Setiap pertumbuhan ekonomi secara nasional sebesar 1 persen itu akan menyerap tenaga kerja 400 ribu orang. Ketika serapan anggaran rendah, yang perlu dipertanyakan adalah paradigma politik anggarannya. Politik anggarannya harus pro poor, pro job dan pro environment. Artinya, postur anggaran yang dibangun harus berpihak pada pengentasan kemiskinan, meminimalisir pengangguran, dan lingkungan hidup. Di sini, mesin birokrasi di pemkabnya mesti berbasis kinerja, bukan pada kerja-kerja politik berorientasi panggung pencitraan,” ucap Jaa. (tik)