KARAWANG, TAKtik – Kasus tragis yang menimpa balita Calista (1,5), merupakan salah satu contoh yang justru di era kekinian menjadi bagian dari fenomena miris buat kita keluarga Indonesia. Dan mencuatnya peristiwa ini menjadi viral hingga mengundang perhatian publik secara nasional.
Hal itu dikatakan Bupati Cellica Nurrachadiana saat memberikan sambutan di acara seminar pola asuh anak yang diselenggarakan Yayasan Ar-Rahmah Sya’bani dan Raudhatul Athfal Al-Luthfi bersama TAKtik.co.id di aula RM. Sindang Reret, Jalan Interchange Karawang Barat, Jum’at pagi (30/3/2018). “Siapa yang bertanggungjawab? Salah satunya kami dari pemerintah daerah, selain orang dan kerabat terdekat, lingkungan sekitar, tetangga, dan lain sebagainya,” akunya.
Mengutif data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Cellica ungkapkan, bahwa kasus serupa dengan Calista di Indonesia selama awal Januari hingga Maret 2018 sebanyak 16 kasus. Yaitu, anak menjadi korban tindak kekerasan oleh orang tua kandungnya sendiri. Cellica mempertanyakan balik, dari sisi mana yang sebenarnya harus diperbaiki? Dijawab sendiri, bahwa ada tiga faktor utama yang membuat psikologis terganggu, terutama bagi perempuan.
“Pertama, riwayat perkawinan yang lebih dari satu kali. Kedua, riwayat melahirkan ketika tidak ada suami di sampingnya. Ketiga, kebutuhan ekonomi, pekerjaan yang tidak tetap. Saya rasa sebagai seorang ibu pastinya memiliki rasa yang sama. Kini, pemerintah memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang kami biayai Rp 708 juta. Kalau di Dinas PPA-nya Rp 4,6 miliar,” ujar Cellica.
Keberadaan lembaga tersebut, diingatkannya, untuk menjadi tempat konselling bagi perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. “Jangan takut melapor. Di lembaga ini tersedia 90 orang satgas, 10 relawan, dan 17 orang pengurus yang siap membantu konseling terhadap trauma, psikis yang dialami KDRT, baik perempuan maupun anak. P2TP2A ada di setiap kecamatan,” tandasnya. (tik)