KARAWANG, TAKtik – Di tengah belum adanya keseimbangan pendapatan dengan belanja yang terbaca di kerangka KUA-PPAS (Kebijakan Umum APBD-Prioritas Plafon Anggaran Sementara) Tahun Anggaran 2019, Badan Anggaran DPRD Karawang sepakat meminta TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) menaikan target PAD di angka 5 persen.
“Sebagus apapun program kita, jika uangnya tidak ada kan repot. Kalau pun ada, sisa cash uang kita di awal tahun anggaran 2019 hanya sekitar Rp 15 miliar. Ini masuk di SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) kosong yang bisa digunakan buat semua SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dari hasil efisiensi, bukan hasil pendapatan. Artinya, bukan over budget,” ungkap anggota Banggar, Natala Sumedha kepada TAKtik usai hearing dengan TAPD di gedung paripurna DPRD Karawang, Kamis malam (9/8/2018).
Sedangkan SiLPA pada APBD 2018, diketahuinya, diperkirakan masih sekitar Rp 310 miliar. Dari angka ini, Rp 290-an miliar di antaranya berada di SiLPA isi. Namun demikian, sambung Natala, Pemkab Karawang masih punya kewajiban bayar hutang pengerjaan sejumlah proyek kepada pihak ketiga atau pemborong. “Sehingga ketika Pemerintah Pusat tidak membuat APBN Perubahan di tahun ini, kita tetap harus membuat APBD Perubahan 2018,” tandasnya.
Selain untuk mengalokasikan anggaran bayar hutang, dana subsidi Pilkades serentak di 67 desa yang pelaksanaannya telah ditetapkan pada Nopember 2018, Natala menyebut, pengalokasian anggarannya belum tersedia di APBD Murni 2018. Oleh karenanya, ia pertegas, pihaknya di Banggar bersama-sama TAPD harus segera membahas RAPBD Perubahan tahun ini usai KUA-PPAS 2019 yang ditargetkan awal pekan depan sudah diparipurnakan. Diingatkannya, jangan sampai pemkab gagal bayar.
Menyinggung soal pesimisme pemerintahan Cellica Nurrachadiana-Ahmad ‘Jimmy’ Zamakhsari terkait proyeksi dana perimbangan di sektor DAK (Dana Alokasi Khusus) yang tidak berani mencantumkan angka pada KUA-PPAS 2019, Natala berani memastikan, bahwa ini akibat Pemkab Karawang terkena finalty oleh Pemerintah Pusat. Karena ada beberapa proyek atau program DAK yang tidak bisa dilaksanakan di sini. Natala menyebut contoh pembangunan gudang melalui Disperindag (Dinas Perindustrian dan Perdagangan).
“Termasuk ada suntikan dana semacam penyertaan modal dari Pemerintah Pusat ke PDAM Tirta Tarum. Ternyata kita tidak bisa memunculkan dana pendampingannya di APBD karena kemampuan kas daerah kita dalam posisi defisit waktu itu. Akhirnya, dana bantuan tersebut tidak bisa kita cairkan. Makanya, mau tidak mau kita harus punya keberanian menaikan pendapatan pada tahun anggaran 2019 minimal 5 persen. Masa harus jeblok lagi?” wanti-wanti Natala.
Sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang berpotensi di optimalisasi, dikemukakannya lagi, selain merasionalkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) untuk pengenaan tarif PBB (Pajak Bumi Bangunan) maupun BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) yang tidak terlalu jauh dengan harga jual, piutang PBB pun yang belum tertagih di wajib pajak hingga Rp 400 miliaran, Natala menyarankan, Bapenda (Badan Pemdapatan Daerah) harus mampu menarik ini masuk kas daerah. “Kesulitan mencari alamat wajib pajaknya, kita bisa ko bekerjasama dengan Kantor Pajak. Mereka pasti punya data itu paska ada kebijakan tax amnesti,” ujarnya. (tik)