KARAWANG, TAKtik -Kendati di wilayah Kecamatan Tegalwaru, terutama Loji, adalah area pegunungan, namun di kala musim kemarau tiba selalu tidak lepas dari kekurangan air bersih.
Menurut warga Dusun 03 Desa Wargasetra, Tatan Tamami, dalam satu minggu terakhir air bersih yang didapat dari air bawah tanah sudah mulai berkurang. Setiap 15 menit air yang dipompa berhenti keluar.
“Kita harus nunggu beberapa menit kemudian air baru keluar lagi. Biasanya kalau di luar musim kemarau tidak begini. Berapa lama pun kita pompa airnya gak pernah berkurang. Kondisi begini bukan kali ini saja. Ya memang selalu begini tatkala lama tidak ada hujan,” kata Tatan, Minggu (27/8/2023).
Dari pantuan TAKtik di daerah Waru (Loji), air yang mengalir di Sungai Cigeuntis nyaris mengering. Hanya hamparan batu alam yang terlihat. Ironisnya lagi, justru di beberapa titik terdapat sampah plastik dan styrofoam kotak bekas tempat makanan menghiasi sungai ini.
Selain itu, beberapa saluran air peruntukan pengairan hamparan sawah di sekitarnya pun kering kerontang, walau di sebagiannya masih ada sedikit air yang menggenang alias tak mengalir lagi.
Tidak hanya itu, warga di kaki Gunung Cipaga sering mengeluh kekurangan air bersih, terutama saat memasuki musim kemarau. Kendati mereka memiliki sumur pompa, tidak lantas airnya mudah didapat.
Tutur Ibu Eneng misalnya, setiap kali bak penampung airnya mulai berkurang, ia terpaksa memesan air dari mobil tangki. Tidak disebutkan berapa duit yang ia keluarkan untuk membeli air bersih tersebut. Dikatakannya, kondisi seperti ini bukan hal baru.
“Dampak dari mengeringnya Sungi Cigeuntis akibat kemarau, dirasakan pula oleh warga di wilayah Desa Cintalanggeng, Cintalaksana dan Kutalanggeng. Bahkan di sekitar Curug Cigeuntis di Desa Mekarbuana pun mulai kesulitan air,” ungkap Tatan lagi.
Kondisi ini, menurut warga setempat yang juga anggota DPRD Karawang, Hoerudin, sudah berlangsung lama di setiap musim kemarau. Penyebabnya, akibat penebangan pohon di hutan pegunungan yang tak beraturan.
“Ada hutan lindung yang mulai rusak. Dari mulai pembukaan lahan pertanian tanpa tumpang sari, di bawahnya berdiri tempat-tempat wisata, bangunan semacam cafe atau villa, serta penambangan batu,” ungkap Hoerudin.
Adapun aktivitas warga dalam menambang batu secara manual, Hoerudin menyebut, kini beralih ke Gunung Goong setelah batu yang ada di Sungai Cigeuntis berkurang. “Bahkan untuk skala kecil, di Gunung Cipaga masih ada warga yang mengambil batu,” ujarnya.
Bagaimana dengan dampak penambangan skala besar yang dilakukan perusahaan penambangan seperti di Gunung Sirnalanggeng?
“Menurut kami, jelas sangat berpengaruh. Karena gunung adalah sumber mata air. Ya mau gimana lagi, warga di sekitarnya pun sudah merasa enjoy. Jadi bingung kami juga,” kata Ahmad Syamsudin dari aktivis lingkungan Pepeling. (tik)