KARAWANG, TAKtik – Tarif retribusi layanan sampah yang selama ini dikenakan Rp 7.500 per rumah tangga per bulan yang dititipkan ke PDAM setiap bayar penggunaan air bersih, dimungkinkan akan ada penyesuaian (kenaikan tarif).
“Kita lihat aja nanti. Kalau pun memang perlu, ya harus disampaikan dulu ke pimpinan (bupati) atau stakeholder. Harus dikoordinasikan, termasuk dengan DPRD Karawang,” ujar Kepala DLHK (Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan) Iwan Ridwan Fatahillah, Selasa siang (21/10/2025).
Dijelaskannya hal itu karena di Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 109 Tahun 2025 terkait pengolah sampah berbasis teknologi ramah lingkungan menjadi energi listrik (PSEL) ada pasal yang mengharuskan pemerintah daerah membuat komitmen penyusunan Perda (Peraturan Daerah) tentang Retribusi Pelayanan Kebersihan.
“Sebenarnya Perda itu sudah ada. Yaitu di Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kalau memang harus ada perubahan, ya kita lihat nanti. Yang jelas mah saat ini skemanya belum ke sana, termasuk sharing pendapatan jika PSEL jadi dibangun di TPAS (Tempat Pembuangan Akhir Sampah) Jalupang seperti apa,” tutur Iwan memperjelas.
Mengenai beban APBD untuk pengelolaan sampah yang meliputi pengumpulan dan pengangkutannya dari TPS (Tempat Penampungan Sementara) ke lokasi PSEL, Iwan akui, termasuk yang belum dibahas sampai ke arah itu. Namun tidak dipungkirinya pula bahwa hal tersebut perlu dikoordinasikan dengan Bappeda, TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dan DPRD.
“Semua skema dan teknis-nya kita juga harus cari tahu dulu ke Kementerian terkait yang ditunjuk Perpres-nya. Kendala kita memang ketersediaan armada. Kita baru punya 54 unit truk sampah. Idealnya butuh 200-an unit. Tahun ini mau nambah 5 unit. Tahun depan kita mengajukan 7 unit lagi. Mudah-mudahan tidak terkena efisiensi,” ungkap Iwan.
Setiap 1 unit truk, sebutnya, bisa mengangkut 6 kubik atau sekitar 3 ton sampah. Sedangkan harga per unit mobil truk tersebut antara Rp 600 sampai Rp 700 jutaan. Lalu, di tengah kas daerah sedang menyusut bahkan di KUA-PPAS 2026 muncul angka defisit nyaris tembus Rp 1 trilyun, Iwan sendiri belum mau mengomentarinya.
“Yang pasti kita harus optimis dengan tetap berikhtiar agar TPAS Jalupang jadi dipilih menjadi PSEL. Kita memulai untuk memperluas lahan sesuai yang dipersyaratkan. Sedangkan batas minimal sampah 1000 ton per hari sudah terpenuhi, bahkan lebih,” tandas Iwan meyakinkan.
Lagi-lagi, respon warga di sekitar TPAS Jalupang menilai bahwa program dari Pemerintah Pusat melalui Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara itu terlalu prematur dipublikasi oleh Pemkab Karawang. Padahal, tahapan dari prosesnya saja masih cukup panjang jika dipelajari Perpres-nya.
“Program ini bukan berarti tidak realistis. Tapi terlalu prematur menyampaikannya ke publik. Makanya kami ingatkan DLHK agar tidak cuma akal-akalan dengan ‘menjual’ program PSEL dengan memerluas area TPAS Jalupang semata di tengah warga terdampak menolaknya,” sentil Solehudin dari Masyarakat Peduli Sampah Wancimekar (GMPSW).
Ia pun berharap kepada Bupati Aep Syaepuloh agar menelaah semua rencana program PSEL. Jangan sampai dibohongi DLHK. “Apakah masih realistis atau tidak dengan konstruksi APBD yang kita miliki saat ini? Kalaupun bupati sendiri telah menyatakan sudah menyiapkan diri untuk proyek ini,” ujarnya mengingatkan.
Solehudin pertegas ulang, jika perluasan lahan TPAS Jalupang betul peruntukan PSEL, warga sangat mendukung. Maka itu, tandasnya, warga tetap butuh jaminan kepastian. “Kami sebagai warga terdampak akan membuat kata sepakat ya atau tidak dengan perluasan lahan, itu nanti di Musdes (Musyawarah Desa) pada Sabtu mendatang (25 Oktober 2025),” pungkasnya. (tik)
