KARAWANG, TAKtik – Efisiensi untuk memperbesar SiLPA dari hasil memangkas kegiatan pembangunan, maka numpuknya SiLPA dari tahun ke tahun menunjukkan lemahnya daya serap anggaran dan buruknya perencanaan program.
“Efisiensi itu harusnya hasil lebih dari realisasi belanja pembangunan. Bukan justru memotong belanja yang dibutuhkan rakyat atau tidak sekadar memangkas kegiatan tanpa arah. Apalagi di tahun anggaran sekarang kas daerah kita masih dalam situasi normal,” sentil Direktur Eksekutif Karawang Budgeting Control (KBC) Ricky Mulyana.
Melalui rilisnya yang diterima TAKtik, Rabu siang, 22 Oktober 2025, Ricky atau biasa akrab disapa Joya menulis bahwa APBD Karawang 2025 masih mencatat angka lebih dari Rp 6 trilyun. Artinya, angka itu belum terkoreksi signifikan oleh kebijakan Pemerintah Pusat yang memangkas TKD (Transfer ke Daerah) hingga Rp 800 milyar buat mendukung program MBG (Makan Bergizi Gratis).
“Makanya kami ingatkan Pemkab Karawang, sebaiknya langkah efisiensi dilakukan dengan dasar kebijakan yang jelas dan berpihak pada rakyat. Kalau tidak, lalu efisiensi ini untuk apa? Apakah ada proyek strategis besar yang harus mengorbankan kebutuhan mayoritas masyarakat?” tanya Joya.
Diketahuinya, selama ini tidak sedang terjadi situasi darurat kesehatan maupun bencana lain yang butuh penanganan khusus dan mendesak. Jika efisiensi adalah cara halus pemkab mengejar SiLPA semata yang setiap akhir tahun anggaran menumpuk di rekening kas daerah, yakin Joya, APBD Karawang jadi tidak efektif.
“Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut banyaknya penyimpangan dana transfer pusat ke daerah, itu merupakan sinyal politik yang serius. Bukan sekadar kritik. Ini peringatan keras agar daerah berhati-hati dalam mengelola dana publik,” wanti-wanti Joya.
Dipertegasnya, alarm kuat dari pusat itu agar pemda sadar bahwa dana publik bukan alat politik, tapi tanggung jawab moral dan hukum. “Efisiensi bukan berarti memangkas program rakyat, tapi justru memperkuat efektivitas pembangunan,” tandasnya.
Selain itu, lahirnya kebijakan optimalisasi kelembagaan dengan merampingkan OPD di Pemkab Karawang yang juga menggunakan dalil efisiensi, menurutnya, bisa berdampak positif jika berorientasi kepada peningkatan produktivitas dan pelayanan publik.
Sebaliknya, bila tanpa kajian mendalam dan hanya sebagai alat politik birokrasi, ia yakin, malah berpotensi menyuburkan ketidakefisienan baru dalam bentuk kekuasaan yang tersentralisasi.
“Perampingan bukan hanya soal struktur, tapi juga soal mental pelayanan. Bila yang dikorbankan adalah efektivitas birokrasi, masyarakat yang paling dirugikan. Sekali lagi perlu digarisbawahi, efisiensi adalah instrumen untuk memperkuat pembangunan, bukan memperbesar saldo kas daerah,” warning Joya.
Menurutnya lagi, anggaran yang tidak terserap adalah bentuk kegagalan birokrasi dalam menghadirkan manfaat nyata. “Jangan sampai dalih efisiensi justru menjadi kedok buat melindungi ketidakmampuan dan kepentingan tertentu,” pungkasnya. (rls/tik)
