KARAWANG, TAKtik – Bantahan Bupati Aep Saepuloh bahwa di era dirinya tidak pernah ada kenaikan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), justru klarifikasi ini menimbulkan kontradiksi dengan fakta di lapangan dan kebijakan administratif yang sudah berlaku.
Lagi-lagi, kritik itu menyeruak dari Ricky Mulyana alias Joya yang terbilang sangat rajin mengirim rilis atas nama Direktur Eksekutif Karawang Budgeting Control (KBC), mengoreksi kebijakan-kebijakan Pemkab Karawang.
Menyambung kritik sebelumnya terkait hal ini, menurutnya, polemik mengenai tarif PBB yang kini melambung dan menuai protes di kalangan masyarakat harus disikapi jujur oleh bupati.
“Apa yang disampaikan Bupati Aep (tidak ada kenaikan tarif PBB) perlu dikoreksi. Masyarakat juga tahu dan paham bahwa kenaikan PBB-P2 memang tidak dilakukan oleh Bupati Aep melalui peraturan baru. Tapi ingat, dasar hukum yang menyebabkan lonjakan tarif masih berlaku dan diimplementasikan saat ini. Itu masalahnya,” tulis Joya dalam rilisnya yang diterima TAKtik, Selasa siang (4/11/2025).
Dipertegasnya, efek kebijakan lama dari Perbup Nomor : 973/Kep.502-Huk/2021 yang mengatur klasifikasi dan nilai jual objek pajak baru, ini secara otomatis memicu kenaikan hingga beberapa kali lipat di sejumlah wilayah industri dan permukiman yang dirasakan masyarakat pada masa kepemimpinan Bupati Aep.
“Jadi, bukan soal siapa yang menandatangani kebijakan, tetapi soal bagaimana pemerintah sekarang menyikapi dampaknya. Menyangkal fakta di lapangan hanya akan memperburuk kepercayaan publik,” nilai Joya.
Diingatkannya, ketika rakyat menggugat ke MA, itu tanda bahwa keadilan fiskal sedang bermasalah. Ia pun dari KBC berharap Bupati Aep membuka ruang dialog dan mengoreksi formula pajak, bukan sekadar membantah isu. Mesti dibarengi langkah politik lebih progresif dan responsif terhadap suara masyarakat.
“Kebijakan fiskal bukan semata angka dalam APBD, tapi cerminan kepekaan sosial dan moralitas publik. Karawang membutuhkan pemimpin yang berani melakukan koreksi, bukan sekadar klarifikasi,” sentil Joya yang di akhir rilisnya menyinggung Forum Group Discussion (FGD) jangan sekadar seremonial untuk meredam isu, namun harus menjadi forum akuntabilitas publik. (rls/tik)
