KARAWANG, TAKtik – Kepala Sekretariat Dewan Penasehat Bupati Karawang, Abdul Majid, lebih sepakat kalangan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) di sini turut fokus mengawal pelaksanaan Perda Nomor 7 Tahun 2011 tentang Wajib Belajar Diniyah Takmiliyah dan Taman Pendidikan Qur’an di Kabupaten Karawang.
“Berdasar pengamatan kami selama ini di lapangan, pengelolaan DTA/TPQ belum merata secara baik. Padahal, lulusan SD yang melanjutkan ke SMP wajib melampirkan ijazah DTA ini sebagaimana diamanatkan perda tersebut. Di sisi lain, pemkab sendiri belum mampu secara optimal menyiapkan sarana dan prasarana bagi pelaksanaan penyelenggaraan belajar mengajar di DTA maupun TPQ,” ungkap Majid.
Sedangkan yang menjadi alasan mendasar penerbitan Perda 7/2011, diingat dia, adalah bagaimana anak-anak usia SD dari kalangan muslim sejak dini telah mengenal dan mampu membaca al-Qur’an. Dengan kondisi sekarang yang dinilainya masih belum mengena sasaran secara menyeluruh dan merata di Kabupaten Karawang, Majid akui, muncul inisiatif dari beberapa SMP memberikan mata pelajaran BTQ (Baca Tulis Qur’an) sebagai muatan lokal bagi peserta didiknya yang beragama Islam.
“Salah satu yang saya ketahui memberikan mapel BTQ sebagai mulok ada di SMP Negeri 2 Rengasdengklok sejak dua tahun terakhir. Karena kalau sekadar mengandalkan pelajaran agama yang secara umum diterapkan di semua jenjang sekolah umum hanya 3 jam setiap minggunya. Bagaimana anak bisa maksimal memperoleh pembelajaran agama di sekolah umum ini?” beber Majid.
Sementara banyak pihak, Majid menyebut, nyaris minim perhatian dan kontrolingnya terhadap pelaksanaan amanat Perda 7/2011. Oleh karenanya, Majid berharap, PCNU Karawang tidak sebatas menolak kebijakan pemerintah mengenai pelaksanaan full day school atau sekolah 5 hari, namun punya atensi pula kepada keberadaan DTA/TPQ yang seharusnya sekarang telah tumbuh subur di bumi Pangkal Perjuangan.
Pada tahun 2013 silam, H. Sopian yang kala itu menjabat Kepala Seksi PD Pontren pada Kantor Kementerian Agama Karawang (kini kepala kantornya), sempat menjelaskan, ada tiga pembagian kewajiban untuk memajukan DTA. Pertama, kewajiban lembaga DTA itu sendiri. Kedua, kewajiban Pemerintah Daerah. Ketiga, kewajiban Kementerian Agama.
“Kewajiban DTA menyiapkan sarana dan prasarana, termasuk legalitas tempat, yakni pengurusan status tanah agar dibuat akta ikrar wakafnya. Sedangkan kewajiban pemkab adalah membuat kebijakan dan fasilitasi pendidikan DTA. Adapun kewajiban Kementerian Agama memberikan legalitas lembaga, pembinaan lembaga dan guru DTA, serta menyiapkan kurikulum dan perangkat pembelajaran lainnya,” papar Sopian yang dikutif dari jabar.kemenag.go.id.
Terkait dengan legalitas lembaga, dia perjelas, sebuah DTA akan mendapatkan Piagam Terdaftar dari Kementerian Agama apabila memenuhi syarat-syarat pendaftaran. Antara lain DTA tersebut telah berjalan 2 tahun, menggunakan kurikulum pemerintah, memiliki santri 30 orang, memiliki 4 orang guru, memiliki ruang belajar tetap, ada evaluasi belajarnya, termasuk memiliki induk badan hukum yang jelas dan tegas kedudukannya. (tik)