KARAWANG, TAKtik – Setidaknya bakal ada delapan orang kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Karawang yang terancam jabatannya diturunkan atau minimal terkena mutasi.
Hal itu setelah tutup tahun anggaran 2017 angka penyerapan belanja langsungnya tergolong rendah. “Berdasar kontrak kerja dengan telah ditanda tanganinya pakta integritas bagi setiap kepala SKPD, ini menjadi indikator penilaian terhadap kinerja. Mampu tidaknya mereka memimpin organisasi dalam menerjemahkan kebijakan bupati tentu ada risiko jabatan,” ujar Sekda Teddy Ruspendi Sutisna.
Dari laporan realisasi anggaran dan kegiatan yang telah dievaluasi pada tanggal 2 Januari 2018, Teddy menyebut, muncul 8 SKPD yang tidak tercapai realisasinya. Alhasil, kedelapan SKPD tersebut telah diingatkan keras. Hanya saja, Teddy tidak menyebut semuanya, terkecuali di antaranya, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, maupun Dinas Perikanan dengan kemampuan belanja di bawah 80 persen.
“Dinas Kesehatan belum mampu membangun Rumah Sakit Paru kendati anggarannya telah tersedia. Sedangkan Dinas Pertanian, selain DAK (Dana Alokasi Khusus) yang tidak bisa dibelanjakan, juga tersangkut kasus pendapatan walau sudah ditangani. Termasuk pemindahan pegawai yang belum kita tarik dari BTL (Berkas Tidak Lengkap) gajinya. Sehingga ada kelebihan gaji yang tidak bisa dibayarkan,” beber Teddy.
Secara umum, dia kemukakan, rendahnya penyerapan anggaran kebanyakan bermuara pada SKPD yang memperoleh DAK. “Ternyata mekanisme DAK-nya untuk triwulan ketiga dan keempat tidak bisa dicairkan. Ini karena keterlambatan pelaporan dari kontrak kita. Jadi kalau kontraknya habis pun, itu hanya bisa dicairkan untuk triwulan pertama dan kedua,” paparnya.
Sedangkan DAK yang diterima Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) untuk pengadaan SRG (Sistem Resi Gudang) yang telah dua tahun, Teddy akui, terkendala penyediaan lahannya. “Beruntung, duitnya sudah masuk kas daerah. Tapi mesti cepat-cepat tahun anggaran 2018 ini direalisasikan. Khawatir pusat minta duitnya dikembalikan. Kini kita berinisiatif dengan akan memanfaatkan terminal Rengasdengklok yang sudah lama tidak berfungsi,” ucapnya.
Teddy melanjutkan, “Ini salah satu contoh bahwa saat kita mengajukan DAK, secara teknis di lapangannya belum siap. Makanya ini pembelajaran bagi kita. DAK juga kadang-kadang ada yang muncul tiba-tiba. Tapi itu tidak bisa menjadi alasan. Adapun pengerjaan proyek yang tidak tuntas sampai tutup tahun anggaran, kita masih punya waktu 50 hari kerja kontrak setelah kontrak berakhir dengan denda setingginya 5 persen keseluruhan.”
Menanggapi kenapa kondisi ngebut realisasi penyerapan anggaran di penghujung tahun sering terulang? Teddy menuding, kembali kepada setiap SKPD sendiri. “Alasannya klasik. Petugas proses pengadaan terbatas. Selain itu, terlalu banyaknya kita pada pengadaan yang terbelah-belah di bawah Rp 200 juta. Padahal penunjukan langsung prosesnya sama dengan proses lelang. Dan teman-teman di SKPD kadang tidak memperhatikan secara optimal RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Sekarang dengan sistem e-planning sudah tergambar di dalam Musrenbang. Makanya diambil sikap minimal 70 persen itu RPJMD dan 30 persen tambahan untuk mengakomodir aspirasi,” tutupnya. (tik)