KARAWANG, TAKtik – Sungai Citarum maupun Cibeet hanya bisa merdeka dari pencemaran limbah cair berbahaya jika pemilik kekuasaan di negeri ini, dari kepala daerah sampai presiden, punya keberanian untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelaku, sekalipun bila pelanggarnya adalah kalangan industri.
“Terbukti, tatkala Presiden Jokowi menyentil persoalan limbah yang telah merusak sungai Citarum, banyak pejabat sampai di daerah langsung menyempatkan perhatiannya ke problem yang selama ini nyaris sekadar berkutat di basa-basi diplomatis saat ‘dipaksa’ rekan-rekan aktivis lingkungan untuk menyelamatkan sungai besar tersebut,” sentil Ketua Paguyuban Sundawani, Tubagusake Anom.
Dia yakin, jika saja di kalangan pemilik kebijakan di semua level pemerintahan memiliki kepedulian dan ketegasan sejak awal terhadap perusak kejernihan air sungai Citarum maupun Cibeet, tidak akan mungkin kondisi faktualnya seperti sekarang. Sebab, sekeras apapun aktivis lingkungan ‘berteriak’, menurutnya, tak ubahnya ayam jago berkokok di kandang kerbau. “Artinya, sehebat dan sekeras apapun suara ayam jago, saat diinjak atau terinjak kerbau, ya pasti selalu kalah kuat,” katanya berilustrasi.
Di mata seorang tokoh masyarakat Jawa Barat yang pernah menjabat Pangdam III Siliwangi, Solihin GP, bahwa untuk memerdekakan Citarum butuh kerja keras dengan keikhlasan seluruh masyarakat Jawa Barat sendiri. Menurutnya, perrmasalahan Citarum tidak akan selesai jika yang turun hanya satu pihak.
“Di sini membutuhkan turun tangan semua pihak, baik pemerintah, penegak hukum, maupun seluruh lapisan masyarakat. Kita semua harus merasa terpanggil jika Citarum ingin merdeka,” ucapnya saat ditemui salah seorang koresponden TAKtik, Ajay Wijaya dari Pepeling Karawang, yang turut bertandang ke rumahnya Solihin GP di Bandung bersama Pangdam III Siliwangi sekarang, Mayjen TNI Doni Monardo, Rabu (17/1/2018).
Dilaporkan Ajay, Pangdam telah menyatakan tekadnya untuk menuntaskan masalah pencemaran air sungai Citarum akan barada di garda paling terdepan. Kendati Pangdam juga mengakui, ini bukan pekerjaan gampang, butuh proses untuk menyelesaikan semua itu. “Nilai-nilai budaya, sejarah, serta kearifan lokal harus dilestarikan dan diangkat kembali sebagai benteng pertahanan terakhir dari kondisi saat ini,” ungkapnya.
Pangdam mewanti-wanti, persoalan yang dihadapi sekarang adalah sebuah penjajahan tanpa mengangkat senjata. Di mana bangsa ini dihadapkan atas penjajahan ekonomi sampai ke penjajahan nilai-nilai karakter bangsa. “Apabila semua itu terus dibiarkan, maka hilang budaya. Tatkala budaya hilang, akan hilang pula sebuah peradaban bangsa dan Negara,” demikian diingatkannya. (tim/tik)