KARAWANG, TAKtik – Peluang kebocoran Pendapatan Asli Daerah dari sektor pajak BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) bisa dimungkinkan di tengah masih jauhnya NJOP atau Nilai Jual Objek Pajak dengan nilai transaksi di lapangan.
Hal itu dikatakan pemerhati kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dari Poslogis (Politic, social, and local goverment) Asep Toha, mengomentari kekhawatiran anggota Banggar DPRD Karawang, Natala Sumedha, bahwa pengenaan pajak BPHTB rentan terhadap “kompromi”.
“Sinyalemen kemungkinan itu bisa kita baca melalui data realisasi dari target yang ditetapkan selama ini. Realistiskah dengan potensi yang ada? Ketika PAD di sektor pajak BPHTB turun, bukan mustahil terpicu oleh terbukanya ruang terhadap tumbuhnya praktek-praktek kompromi atau tawar menawar nilai pajak yang harus dibayarkan,” ujar Asep Toha yang biasa akrab disapa Asto.
Sambung dia, ruang itu tersedia tatkala terbiarkannya ‘rate’ karet yang bisa diterjemahkan sesuai “selera”. Oleh karenanya, ia sepakat ketika dari kalangan legislatif ada yang mengingatkan jika di pajak BPHTB masih terdapat ruang yang rentan terhadap praktek-praktek “kompromi” tersebut dengan mengenyahkan pertimbangan kepada optimalisasi pendapatan kas daerah.
“Peluang untuk bermain di pengenaan pajak BPHTB ini, misal dalam NJOP harga tanah per meter Rp 12.000, bayar BPHTB-nya Rp 600. Sementara di lapangan, lahan tersebut dijual belikan seharga Rp 50.000 per meter dengan keharusan bayar BPHTB sebesar Rp 2.500. Itu artinya, di setiap meter kas daerah kehilangan haknya Rp 1.900,” urai Asto menyontohkan.
Atas dasar itu, Asto kemukakan alasan, kenapa Pasal 79 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan, bahwa dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP yang ditetapkan setiap tiga tahun. Kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. Dan penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah.
“Dalam Undang-Undang ini pemerintah daerah berfungsi sebagai pengelola (fiskus), harus menetapkan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB atas objek tanah yang dimiliki, dikuasai atau dimanfaatkan oleh subjek pajak setiap tiga tahun sekali, kecuali untuk objek pajak tertentu. Yang dimaksud dengan objek pajak tertentu adalah objek yang mengalami perkembangan pesat sehingga dapat ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan wilayah,” beber Asto.
Adapun daerah-daerah tertentu di wilayah Kabupaten Karawang yang mengalami perkembangan pesat, diketahui Asto, di antaranya Karawang bagian timur dan selatan. Di sini, menurutnya, penetapan penyesuaian NJOP mesti setiap tahun sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/pmk.03/2014 tentang klasifikasi dan Penetapan NJOP. (tik)