JAKARTA, TAKtik – Rencana pemerintah menaikan tarif tol akan berdampak kepada pengusaha kecil dan menengah (UMKM). Oleh karenanya, rencana ini harus ditunda.
Itu dikemukakan anggota Komisi V DPR RI Ahmad Syaikhu dalam rilisnya yang diterima TAKtik, Senin petang (27/1/2020). “Ini tidak adil. Kenaikan tarif tol harus ditunda karena yang terkena dampak paling besar adalah UMKM,” tulisnya.
Syaikhu menyoroti besaran kenaikan mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 1231/KPTS /M/2019. Sehingga tarif tol mengalami penyederhanaan menjadi tiga golongan dengan penyesuaian tarif golongan I Rp 10 ribu, golongan II (2019) Rp 15 ribu, dan golongan III (2019) Rp 17 ribu.
“Tarif golongan II tahun 2017 sudah naik hingga 30,43 persen. Sedangkan golongan yang lain, selain golongan I, mengalami penurunan. Padahal, pemilik kendaraan jenis ini didominasi oleh UMKM. Berbeda dengan kendaraan niaga golongan IV (2017) dan V (2017), sekarang menjadi golongan III (2019), mayoritas dimiliki kalangan korporasi,” urai Syaikhu.
Wakil rakyat dari Fraksi PKS ini juga mengemukakan, tarif tol terakhir dinaikan Desember 2017. Bila dibandingkan tarif lalu, Syaikhu menghitung, golongan I mengalami kenaikan sebesar 5,26 persen, golongan II naik 30,43 persen, golongan III (sejak tahun 2019 masuk golongan II) malah turun 3,22 persen, golongan IV (sekarang masuk golongan III), juga turun 10,52 persen.
Selain itu, sambung Syaikhu, golongan V yang saat ini masuk kategori golongan III sama turun hingga 26,09 persen. “Sesuai Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan dua tahun sekali. Pemerintah melalui Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) akan memberlakukan penyesuaian tarif tol dalam kota baru untuk ruas Tol Cawang-Tomang-Pluit dan Cawang-Tanjung Priok-Ancol Timur-Jembatan Tiga/Pluit,” bebernya.
Selain tidak adil terhadap pengguna jalan tol Golongan II (2017), Syaikhu juga mengkritisi kenaikan yang mencapai 30,43 persen yang dinilainya melanggar Pasal 68 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Jika tetap dinaikkan, diingatkannya, pemerintah harus tetap berpedoman kepada Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, dan Pasal 68 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol.
“Pasal 67, di mana penyesuaian tarif tol harus ditetapkan berdasarkan laju inflasi. Serta memastikan SPM (Standar Pelayanan Minimum) terpenuhi dengan memperhatikan kepuasan pelanggan pengguna tol. Inflasi 2018 dan 2019 dengan asumsi SPM terpenuhi, maka seharusnya kenaikan tidak melebihi 4 persen dari tarif sebelumnya,” kata Syaikhu.
Mengutif Pasal 48 ayat (1), diketahuinya, tarif tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, serta kelayakan investasi. “Melihat segala persoalan tersebut, ditambah daya beli masyarakat yang masih lemah, pemerintah seharusnya menunda menaikan tarif tol,” tandasnya. (rls/tik)