KARAWANG, TAKtik – Serikat Petani Karawang sebenarnya hanya berharap ada kejelasan tentang pihak mana yang sah dalam kepemilikan lahan yang selama ini masih terus muncul saling klaim antara masyarakat dengan pihak kehutanan.
“Ayo kami minta kita semua, baik Pemkab Karawang, BPN (Badan Pertanahan Nasional), dan masyarakat yang di wilayah Kecamatan Pangkalan, Pakisjaya, Cibuaya (Sedari) maupun Batujaya datang bareng-bareng, buka data di Kementerian Kehutanan biar terbuka semua, clear,” tegas Ketua Umum Sepetak, Wahyudin, kepada TAKtik, Jum’at (28/7/2023).
Menurutnya, berkali-kali Sepetak mendatangi Kementerian Kehutanan dan instansi terkait lainnya, selama itu pula hanya ditunjukan peta. Sedangkan dasar acuan Sepetak adalah SK Departemen Pertanian tahun 1954, sebelum ada agraria maupun kehutanan.
Yang sulit dipahami Sepetak hingga kini, lanjut Wahyudin atau biasa akrab dipanggil Bogel, terbiarkannya lahan-lahan di keempat wilayah desa tersebut diklaim milik kehutanan, sementara masyarakat di sana tetap dimintai membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) setiap tahunnya.
“Kami tahu bahwa PBB bukan alat bukti sah kepemilikan lahan. Tapi ingat, kalau memang Pemkab Karawang mengakui itu lahan kehutanan, kenapa selalu mengeluarkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang) kepada warga di sana?” tanya Bogel.
Menurutnya lagi, sikap standar ganda pemkab diperlihatkan dengan mengeluarkan anggaran di APBD Karawang dengan membangun akses jalan ke pemukiman warga yang jika lahannya mereka ketahui milik kehutanan.
Bahkan dibiarkan ada sambungan listrik dari PLN. Setahu Bogel, bila benar itu lahan milik kehutanan, seharusnya tidak boleh dibangun akses jalan, listrik, maupun bangunan yang bisa merusak hutan.
“Jangan lupa loh, di lahan yang diklaim milik kehutanan tersebut terdapat pula bangunan gedung sekolah hingga ada kantor kepala desa. Ini kan bukti bahwa masyarakat yang sudah menguasai lahan di sana hingga ada yang di atas 20 tahun memang sudah berhak diberikan sertipikat sesuai amanat Undang-undang Pokok Agraria,” ungkap Bogel.
Malah, Bogel kemukakan, ada juga warga yang punya girik. “Berarti kan itu tanah adat dong. Akui saja lah. Sehingga pemda pun tidak salah membangun karena itu tanah milik warga. Makanya, kenapa kami minta ada ukur ulang dan pemetaan 88 bidang di Kantor Pertanahan Karawang, ini biar kebuka semua,” tandasnya.
Terkait hal ini, Kepala BPN Karawang Nurus Sholichin menjelaskan bahwa pihaknya saat ini masih menunggu konfirmasi dan kepastian dari pihak kehutanan tentang batas kawasan hutan yang riil di lapangan. Yaitu, sesuai Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana ter-plotting di peta pendaftaran.
“Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yg belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah kecuali pada kawasan hutan,” tulis Nurus menjawab konfirnasi TAKtik by WhatsApp.
Ditulisnya pula, untuk memastikan ini maka pihaknya di BPN harus koordinasi dengan BPKHTL (Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan), dan atau Dirjen Planologi Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) agar masalah kawasan hutan ini bisa clean and clear. (jok/tik)