KARAWANG, TAKtik – Selama sistem politik Pilkada dipilih langsung oleh rakyat dengan biaya tinggi hingga puluhan miliar rupiah, jangan aneh jika calon terpilih ada yang akhirnya menghadapi persoalan hukum terkait tindak pidana korupsi (tipikor).
Hal itu dikatakan mantan Bupati Karawang dua periode, Dadang S. Muchtar. “Saya jamin kalau sistem Pilkada-nya tetap seperti ini masih akan banyak kepala daerah berurusan dengan hukum tipikor. Publik sudah paham ko, berapa cost (biaya) politik yang harus disiapkan pasangan calon saat ‘bertarung’ di Pilkada,” katanya.
Untuk ukuran sekarang, Dadang Muchtar yang kini anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, juga menyebut, bagi calon bupati di Kabupaten Karawang dengan jumlah hak pilih makin banyak, minimum harus punya dana Rp 50 miliar. Apalagi waktu sosialisasi dan kampanye sejak pasangan calon ditetapkan KPU setempat, perjalanan politik selama masa itu cukup panjang.
“Buat saya imposible apabila siapapun yang berkeinginan nyalon kepala daerah maupun wakil kepala daerah bisa melenggang mulus tanpa mempersiapkan cost politik dari sisi biaya. Kalaupun ada kabar di daerah lain yang calon wakilnya bermodal minim, itu pasti dari kubu calon kepala daerahnya berani mengcover kebutuhan itu. Ini saya ngomong berdasar empirik (pengalaman) di tiga generasi. Baik saat Orde Baru, awal era reformasi, dan saat era reformasi berjalan,” beber Dadang Muchtar.
Oleh karenanya, ia pun merasa kurang yakin jika dengan cost politik besar itu pada perjalanan paska terpilih menjadi kepala daerah tidak berpikir mengembalikan modal, atau tidak tergoda hal-hal berbau tipikor. Karena ia tahu berapa gaji pokok dan tunjangan kepala daerah, terurama bupati, yang sempat dirasakannya. Hanya saja, Dadang Muchtar tidak mengungkap angka nominalnya.
“Ini di antara yang menjadi alasan DPR RI dulu di era Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sempat menggulirkan Undang-Undang untuk mengembalikan Pilkada dipilih oleh DPRD. Selain lebih mudah diawasi jika terjadi money politic, juga lebih hemat dan efektif biayanya. Karena desakan publik, akhirnya pemerintah waktu itu mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,” urai Dadang Muchtar. (tik)